Dari umur 5 tahun saya hidup di tasikmalaya, setelah pindah
dari ibukota. masa kanak-kanak terbalut oleh budaya sunda, bahasa, kesenian,
dan adat istiadat sunda telah menjadi bagian dari hidup saya.
Hidup di Tasikmalaya tidak lah seperti hidup di kota besar,
setelah lulus SMA tahun 2008 saya pindah ke Bekasi, Kota penyokong Jakarta,
sang Megapolutan. Tasikmalaya memiliki udara yang segar, dikelilingi oleh
gunung membuat udara disana cukup dingin.
Selain alamnya yang asri, kehidupan disini pun sederhana,
pekerjaan favorit masyarakat adalah
sebagai pedagang, pegawai negeri, pegawai bank, bekerja di Mall (spg), dan yang
paling banyak di lingkungan saya adalah kepala keluarga yang bekerja sebagai
pekerja serabutan, istilah kerennya freelance apapun J
4 tahun selepas lulus SMA banyak teman seangkatan yang
memilih untuk berkeluarga, ini merupakan pandangan tersendiri buatku, hidup
disini sangat sederhana, tak muluk memiliki pengahasilan besar untuk memiliki
keluarga, iri rasanya melihat tetangga yang seumuran telah memiliki keluarga,
bahkan anak. Padahal pekerjaan suaminya hanyalah pegawai biasa dengan gaji UMR
bahkan ada pula teman yang memiliki suami dengan pekerjaan serabutan.
Menurut analisa pribadi, calon mertua akan rela melepaskan
anak gadisnya untuk dinikahi dengan syarat: harus bertanggung jawab, dewasa dan
berseragam, ya pekerjaan yang mengenakan seragam sehari-hari tampak megah
sepertinya disini. Banyak terlihat oleh saya keluarga yang sederhana nan
bahagia, seorang bapak yang bekerja sebagai supir angkutan umum memiliki istri
yang mengasuh anak dengan baik sebagai ibu rumah tangga, terkadang memiliki
usaha warung kecil-kecilan depan rumah kontrakannya dan dikaruniai anak satu.
Hidup sederhana, pekerjaan informal namun terlihat bahagia, tidak seperti
kehidupan kota yang semraut, seakan harta adalah tujuan hidup.
Gadis-gadis Tasikmalaya amatlah banyak yang berparas cantik,
sering saya merasa iri melihat sepasang kekasih bergandeng tangan di Mall,
wanitanya sungguh manis, cantik, tapi pasangan prianya tidak lah begitu tampan
secara fisik, namun cinta tak mesti dilihat dari luar. Dan dikampungku semua
gadis berparas cantik pun kini telah memiliki suami, walau dengan umur yang
masih muda untuk ukuran pasangan kota, sekitar 21-22 sudah memiliki anak.
Hidup di Bekasi dengan pilihan pekerjaan yang beragam, dan
ekonomi yang lebih tinggi seakan membuat kualifikasi tersendiri. Seorang pria
seakan terstandarisasi memiliki kendaraan pribadi, entah motor atau mobil untuk
bisa mendekati gadis, dan dengan pekerjaan yang masih sebagai pegawai kontarak
pun akan membuat masa depan tak tentu, cenderung madesu :p karena untuk
memperoleh pekerjaan tetap sangat sulit, pencari kerja datang berbondong,
membuat pekerjaan sangat cepat berganti, dan usia produktif bekerja pun
menurun, jika bekerja di pabrik sebagai operator produksi maka anda harus
berumur di bawah 23 tahun, dia atas itu akan sulit mendapatkan pabrik yang
masih mau mempekerjakannya, dan dengan sistem kontrak yang pertahun, terkadang
per 6 bulan akan membuat terus mencari pekerjaan, suram untuk mendapat
pekerjaan tetap.
Dengan pekerjaan yang tidak menentu tergantung kontrak
tersebutlah membuat usia pasangan yang menikah cenderung lebih tua, setidaknya
pria harus telah memiliki pekerjaan yang tetap untuk memperoleh ijin menikah.
Saat masih bekerja di Yamaha dulu, pernah beberapa kali saya menghadiri
pernikahan sahabat yang sama-sama bekerja sebagai karyawan pabrik dengan status
keduanya masih pegawai kontrak namun berani melangsungkan pernikahan, dan
komentar teman-teman lain adalah tentang keberanian mereka untuk mendirikan
keluarga, sungguh aneh saat itu saya berfikir kok mereka takut membina rumah
tangga? Setelah sebelumnya saya terbiasa malah melihat tetangga menikah di usia
muda bahkan dengan pernikahan sederhana hanya mengundang kerabat dan tetangga.
Ahirnya kini saya mulai mengerti, untuk membina keluarga
bukan hanya berdasarkan cinta semata, namun tanggung jawab untuk membuat sebuah
keluarga baru lah yang berat, saya masih merasa belum membahagiakan keluarga
sekarang, orang tua, adik, dan saudara. Belum saatnya untuk membuat keluarga
sendiri, hidup masih panjang, pekerjaan pun belum kudapatkan, sebagai pria saya
harus memikirkan karir terlebih dahulu, ibadah lebih baik lagi, bagaimana mau
membimbing keluarga jika belum sanggup menjadi imam yang baik. Aah... mungkin
terlalu jauh saya membicarakan keluarga sendiri masih banyak cita-cita yang
belum terwujud, mungkin saat usia 28-29 nanti saya telah memiliki kesiapan
lahir batin untuk mulai memikikan keluarga baru. Sekarang marilah kita
bahagiakan keluarga kita semua, melakukan yang terbaik untuk kebaikan J
0 comments:
Post a Comment